Thursday, March 29, 2007

*Ketika Waktu Jadi Beku*
Tentang ‘Sepuluh Tahun Kemudian’-nya Hadjid Hamzah
oleh Kuswaidi Syafi`ie

Cinta tulis Sutrimo Edy Noor dalam salah satu sajaknya, membuat segalanya mungkin. Dan pasti bahwa kalimat sang penyair dari pesisir utara Jawa itu bukanlah merupakan jalinan idiom-idiom yang kosong: kalimat itu ingin mendedahkan tentang betapa dahsyatnya kekuatan yang terkandung di dalam cinta itu sehingga ia sanggup merobek berbagai keangkuhan apapun yang selainnya. Karenanya, baju kemungkinan senantiasa menjadi kehormatan yang disandangnya.

Tapi bersamaan dengan hal itu pula, cinta bukanlah merupakan sejenis kobaran ambisi yang tidak mau mengakui tentang adanya warna-warni dan jarak. Dalam cerpen Hadjid Hamzah yang berumbul Sepuluh Tahun Kemudian (selanjutnya disebut STK, termaktub dalam buku antologi cerpen Cinta Seorang Copet, Jakarta: Progres, 2003) permakluman tentang adanya perbedaan yang tajam dalam bercinta terjuntai dengan ramah. Di dalam permakluman ini, cinta dibiarkan menjalar dari masing-masing keduanya, tapi sekaligus juga tidak memaksakan diri untuk merobohkan pagar atau batas yang berdiri di antara keduanya.

Bagaimana kita bisa tenteram dengan hidup seperti itu? Bagaimana pula jadinya anak kita nanti? Ke masjidkah ia? Atau ke gereja? kata Surti pada kekasihnya, Hari Sudarlan: suatu wujud perbedaan yang di kalangan kebanyakan masyarakat masih seringkali tampil sebagai seonggok penghalang bagi terwujudnya sebuah keluarga yang diikat oleh tali pernikahan, yaitu perbedaan agama.

Di dalam cerpen yang pernah muncul di Majalah Sastra di tahun 1964 ini, perbedaan keyakinan yang cukup kontras dan dianggap substansial oleh kebanyakan orang itu oleh Hadjid Hamzah dijadikan demarkasi. Hal ini barangkali dimaksudkan untuk mengujicoba bagaimana cinta menghadapinya. Ibarat angin atau air: ketika dihadang, ia akan mencari tempat atau celah yang lain untuk memasuki atau melewati ruang.

Di dalam cerpen yang seolah bukan fiksi ini, demarkasi yang tandas itu bukanlah merupakan penanda bagi berakhirnya percintaan antara Surti dengan Hari Sudarlan. Yang terjadi di situ adalah berubahnya titik pusat: dari degup cinta yang bertaut secara fisik beralih ke orkestrasi cinta yang berdentam secara platonik.

Cinta yang bertaut secara fisik mengandaikan berlangsungnya penghabluran masing-masing diri secara utuh sehingga kedua pencinta itu dimungkinkan untuk mendapuk kenikmatan paling maksimal, baik secara lahir maupun batin. Itulah yang disebut puncak hakiki dari perjumpaan antara dimensi maskulin (jalaliyyah) dan dimernsi feminim (jamaliyyah) yang sejatinya merupakan turunan langsung dari dua gelombang sifatNya.

Sedangkan cinta yang berdentam secara platonik hanya bisa berlangsung di gorong-gorong yang benar-benar sunyi: ia berjingkrak di kedalaman imajinasi yang paling purba, membuat si pencinta seolah melampaui gugusan-gugusan wilayah, menembus berbagai limit yang tabu, menumbuhkan bunga-bunga yang paling ideal.

Cinta platonik itu mengindikasikan adanya dua hal sekaligus: di satu sisi ia memproklamirkan kesanggupan untuk senantiasa bertahan meskipun secara terus-menerus ditikam sunyi, sementara di sisi yang lain ia memperlihatkan kelemahannya sendiri untuk merengkuh realitas sehingga yang terpampang di hadapannya tak lebih dari sekedar bayang-bayang.

Walaupun demikian, cinta platonik itu tetaplah merupakan penyangga terakhir bagi kehidupan si pencinta. Andaikan tidak ada ruang kemungkinan untuk berkolusi dengan cinta platonik, para pencinta yang sial karena tidak sanggup mendapuk rialitas mungkin akan mengakhiri hidup mereka dengan ca-ra yang barangkali tragis: bunuh diri atau tindakan-tindakan apapun yang bernuansa mengenaskan. Nauudzu billahi min dzalik.

Menurut paradigma seorang hermeneut kontemporer di bidang teks-teks suci Alquran, Muhammad Syahrur, cinta platonik itu bisa dikategorikan sebagai al-hadd al-adna (batas yang paling bawah) yang bisa disandang oleh para pencinta. Inilah sebenarnya yang dimainkan oleh Hadjid Hamzah di dalam STKnya. Di dalam cerpen yang bernuansa suram ini,tragedi berjalan maju-mundur, kenangan masa silam dan pengalaman hari ini berjalin-berkelindan dengan sedemikian sublim, dengan terajut begitu rapi. Waktu yang sesungguhnya beringas lalu berubah seakan menjadi beku. Waktu psikis melampaui waktu kosmologis. Bukan matahari atau jam atau barometer apapun yang menjadi kemudi bagi waktu, tapi gemuruh jiwa yang tidak mau dibalut layu. Simaklah petilan-petilan berikut ini:

Ya, sebetulnya mengapa pula kita bertemu waktu itu kata Darlan. Dan kau memandang padaku. Dan aku memandang padamu. Mengapa? Lalu kita kenal. Jalan-jalan. Nonton film. Dan kita tak saling mengatakan bahwa kita sebenarnya mempunyai kutub-kutub sendiri dalam hidup kita.

Percakapan-percakapan semacam itu ataupun yang sejenisnya dalam cerpen ini tidaklah semata terjadi di waktu yang sudah jauh lewat, sepuluh tahun yang lalu, tapi juga berdengung-dengung pada sepuluh tahun kemudian ketika Darlan, atas nama cintanya yang tidak kunjung kisut itu, mengunjungi sebuah rumah makan yang dulu, persisnya sepuluh tahun yang lalu, disinggahi oleh Darlan dan Surti dalam suasana cinta yang sungguh mesra.

Usia boleh beranjak tua. Kulit boleh berubah jadi keriput. Kepala boleh jadi telah ditumbuhi uban. Tapi cinta yang bersenyawa dengan keabadian tidak mudah bertekuk lutut di hadapan benda-benda atau atribut-atribut yang telah digarong oleh waktu.

Dengan gambaran semacam itu, barangkali Hadjid Hamzah secara tidak langsung ingin menandaskan bahwa melalaui jendela agung yang bernama cinta, kesejatian manusia sesungguhnya sanggup menunggang waktu dengan, bijak dan bestari. Laalli ila man qad hawaytu athir.


*) Kuswaidi Syafiie adalah penyair,
juga dosen Tasawuf di PP Universitas
Islam Indonesia Jogjakarta.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home