Thursday, March 29, 2007

Nafas Keislaman dalam Macapat
Oleh Otto Sukatno CR

METRUM Macapat, yang dalam kebudayaan Jawa dikategorisasikan sebagai Tembang Cilik (kecil), jika dikaji secara seksama, sesungguhnya memiliki pengutuban atau mencerminkan nafas tradisi tasawuf (tarekat) Islam yang klop dan harmonis. Tarekat, yang dimaknai sebagai jalan atau stadia manusia dalam mencari kembali bentuk agregasi hubungan ‘kebersamaan Illahi’ (kemakhlukan dan Ketuhanan/Manunggaling Kawula Gusti), tercermin secara nyata dalam nama-nama genre Macapatan tersebut.

Di mana urutan kesebelas nama tembang Macapat itu, tidak lain mencerminkan perjalanan manusia dari sejak lahir hingga kembali bersatu dengan Tuhan. Artinya, urutan tembang Macapat itu tak lain merupakan dialektika sosial kemanusiaan sekaligus spiritual-religius bagi manusia Jawa dalam mencapai derajat kemanusiaannya yang lebih baik, bermakna dan bermartabat sesuai nafas ajaran (tasawuf) Islam. Karena nama-nama tembang tersebut menunjukkan arti masing-masing sesuai dengan maksud, tujuan dan karakter yang harmonis dengan stadia kehidupan (individu) manusia, berhadapan dengan dimensi keilahian (hablum minallah).

Urutan metrum Macapat itu adalah:

1. Mijil artinya lahir/kelahiran;

2. Maskumambang (seperti emas yang hanyut) mencerminkan kehidupan manusia masa bayi. Yakni sejak lahir hingga bisa berjalan. Artinya bayi masa ini ibarat ‘emas’, jika tidak dijaga dan dipelihara secara baik, ia hanya akan (hanyut) sia-sia;

3. Kinanthi atau masa kanak-kanak. Di mana masa ini biasanya, ke manapun orangtuanya pergi, ia selalu ingin ikut. Sehingga dinamakan kinanthi (selalu minta dikanthi).

4. Sinom adalah cerminan masa remaja;

5. Dhandhanggula atau masa-masa yang ‘serba manis’ laksana gula. Tidak lain mencerminkan masa pubertas awal;

6. Asmarandana atau masa percintaan, memasuki usia perkawinan (Asmarandana; berasal dari kata ‘asmara’ dan ‘dahana’/api). Jadi Asmarandana artinya berkobarnya api asmara;

7. Durma atau masa ‘berdarma’. Yakni masa memasuki realitas kerja yang konkret (usia produktif), sebagaimana seorang ksatria dalam pandangan Hindu. Di mana Durma atau darma juga bermakna berdarma (sedekah) dalam pengertian religius;

8. Pangkur atau munkar. Yakni masa memalingkan diri (masa pensiun). Di mana Pangkur dalam hal ini lebih bermakna religius ‘mungkuri’ kenikmatan duniawi, untuk lebih mengejar kenikmatan ukrowi (akhirat/spiritual). Dengan jalan lelaku suci, nggegulang kalbu (membina keutamaan jiwa), mencari kekayaan batiniah, dengan banyak beramal dan beribadah untuk bekal kehidupan sesudah mati. Pangkur ini dalam konsepsi tasawuf Islam disebut Ujlah atau memalingkan diri dari kehidupan duniawi untuk menempuh jalan spiritual (tarekat). Atau Sanyasi, bertapa ke hutan dalam konsepsi teologi Hindu;

9. Megatruh (megat, putus dan ruh/jiwa). Saatnya manusia meninggal;

10. Pucung (pocong: memasuki alam kubur). Selanjutnya yang terakhir adalah:

11. Gambuh. Yakni masa di mana ruh kembali ke haribaan Illahi. Gambuh atau Jumbuh. Yaitu Jumbuhing Kawula Gusti. Bersatunya manusia dengan Tuhan.

Namun dari urutan nama-nama tembang itu, ada beberapa pendapat yang menempatkan urutan Sekar Gambuh, sesudah Sekar Pangkur. Dengan pertimbangan bahwa Gambuh yang berarti ‘kesesuaian jiwa’ (jumbuh) manusia dengan Tuhan ‘dapat dicapai oleh manusia di dunia, baru kemudian disusul Megatruh (mati). Sedangkan Gambuh dalam urutan terakhir sebagaimana diurai di atas, bermakna sebuah ungkapan esoterik dari kesatuan kembali dengan Tuhan Manunggaling Kawula Gusti dicapai manusia di akhirat, setelah mengalami masa Megatruh dan Pucung (alam kubur).

Metrum Macapat ini muncul karena sebagaimana diungkap oleh pakar mistik-Islam Kejawen, Prof Dr Simuh dalam bukunya Sufisme Jawa (1995) bahwa para wali --mereka yang notabene diidentifikasikan menciptakan metrum Macapat ini-- pada masa itu berdakwah dengan pertama-tama mengubah dan memperkenalkan konsep waktu.

Dari konsep waktu yang sirkulair (cakra manggilingan) yang bergerak dari alam pikir ajaran Hindu Buddha yang lebih dulu menguasai alam pikir Jawa, menjadi konsep waktu yang linier Newtonian yang bersifat rasional filosofis dan epistemologis sebagaimana paham modern. Adapun yang menjadi center of mind atau pusat orientasi dan kesadaran akan kewaktuan yang bersifat linier Newtonian itu adalah Makah (Kabah) yang menjadi kiblat dari seluruh identifikasi dan orientasi spiritual umat Islam.

Dengan adanya perubahan dan penggantian konsep waktu ini muaranya kebudayaan Jawa yang masa itu di tangan alam pikir Hindu-Buddha telah mengalami establisme, kembali menemukan watak fleksibilitasnya yang menjadi elemen penting dari proses dan energi budaya.

Sehingga kebudayaan Jawa kembali mengalami aktivitas yang dinamis. Terbukti sejak diperkenalkan metrum Macapat ini; kehidupan kebudayaan Jawa menjadi dinamis. Dengan metrum Macapat ini, kemudian di Jawa muncul ribuan karya sastra yang bernafaskan ajaran Islam --termasuk Serat Centhini yang legendaris itu-- tidak bisa dibaca secara pas tanpa bantuan khazanah literer ajaran Islam.

Di samping lewat Macapat, kunci penting keberhasilan para Wali Sanga dalam misi dakwahnya menyebarkan Islam di tanah Jawa, karena mereka menggunakan metode yang bersifat kompromis-akomodatif. Artinya sebagaimana yang dipelopori Sunan Giri, Bonang dan Kalijaga, mereka menggunakan media, sarana dan prasarana budaya lokal yang telah berkembang sebelumnya. Seperti lewat ekspresi wayang (teater), gamelan (musik) maupun sastra. Selain itu para Wali juga menciptakan karya-karya baru berdasarkan genre yang sudah ada.

Di luar itu juga menyempurnakan dan meluruskan karya-karya yang ada untuk disesuaikan ajaran-ajaran dengan nafas keislaman. Itulah sebabnya, masa itu Islam mudah diterima dan berkembang secara signifikan, tanpa menimbulkan konflik yang berarti.

*) Otto Sukatno CR, Penyair dan
Pemerhati Sosial, Budaya dan
Ketimuran (Agama dan Filsafat Jawa).

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home