Thursday, March 29, 2007

Sastra Remaja: Aset Luarbiasa
oleh Evi Idawati

POPULER adalah cara gampang yang diburu remaja sekarang untuk mempunyai eksistensi yang diakui oleh masyarakat luas. Wajah dikenal banyak orang, kaya raya serta banyak dipuja remaja-remaja seantero nusantara. Untuk sampai pada kata populer banyak remaja yang berusaha keras, mencoba berbagai hal untuk mengembangkan potensi dan menemukan jati diri. Sastra menjadi satu pilihan di antara sekian. Ajang lomba nyanyi, pemilihan top model serta berbagai festival pelajar, baik kompetisi mata pelajaran atau kreativitas. Semua menjadi cara untuk berusaha memberikan yang terbaik bagi diri sendiri dan juga bagi orang-orang yang dikasihi.

Pandangan orang tentang sastra dulu dan sekarang sangat berbeda. Tetapi karena efek dari globalisasi yang menimbulkan keterbukaan informasi menjadikan remaja sekarang sanggup menjadikan sastra seperti bagian dari gaya hidup dan kebanggaan mereka. Forum lingkar pena yang mengasah dan menghasilkan para penulis muda. Fenomena ciklit dan kepopuleran yang didapat para penulis di usia muda sanggup mengilhami sekian remaja di Indonesia untuk bertarung masuk di dunia sastra. Bagi saya pribadi tidak penting apakah mereka akan sampai pada pencapaian puncak untuk menghasilkan karya luar biasa. Karena proses setiap orang berbeda dan saya termasuk orang yang menghargai proses individual. Lepas dari itu, kegairahan tersebut harus didukung sepenuhnya untuk membuka dan memberi wacana baru bagi perkembangan sastra Indonesia.

Remaja pecinta sastra adalah aset yang luar biasa bagi Sastra Indonesia. Mereka tidak hanya menjadi market dari buku-buku sastra, tetapi juga akan memberikan kontribusi bagi perkembangan Sastra Indonesia ke depan. Berkali-kali jika saya kedatangan tamu atau bertemu dengan seseorang di acara resmi maupun tidak resmi, baik remaja, ibu-ibu dan juga bapak-bapak, mereka sering menanyakan pada saya, bagaimana menulis itu, tapi mereka menambahkan bahwa sudah menyimpan sekian puluh tulisan tapi takut salah karena merasa jelek sehingga tidak pede untuk mempublikasikannya. Terus terang saya heran, meski manusiawi tapi pertanyaan muncul juga di benak saya, kenapa orang takut salah dalam menulis, takut dicap jelek tulisannya, padahal mereka mampu menghasilkan tulisan yang disimpan sendiri. Jadi, menulis bagi saya, bukan persoalan bakat atau tidak. Yang terpenting adalah kemauan.

Menulis bagi saya adalah kebutuhan. Dan saya berharap, begitupun remaja kita. Bukan hanya menulis sastra tetapi apa saja. Sehingga kita bisa belajar mendokumentasi perasaan dan pikiran-pikiran kita karena satu peristiwa atau lain hal. Lihatlah bagaimana tokoh-tokoh dunia melakukan hal yang sama. Menulis. Semua orang top di dunia, melengkapi dirinya dengan menulis. Mahatma Gandhi, Jawaharar Nehru, Soekarno, Bill Clinton, adalah sedikit di antara tokoh-tokoh dunia yang merasakan bagaimana dunia ada dalam genggamannya, tapi mereka tetap ”merasa perlu” melengkapi dirinya dengan tulisan-tulisan untuk mendokumentasi dan memberikan sesuatu bagi generasi di bawahnya. Untuk itu, mulailah menulis sekarang, apa saja. Agar kita bisa membuat catatan untuk dibaca diri kita sendiri, oleh orang lain yang akan bisa mengambil hikmah dan juga makna dari apa yang kita tuliskan.

Sungguh bukan hal yang mudah untuk berubah dan memulai sesuatu yang baru. Tetapi tekad yang kuat menjadi suplemen yang luar biasa untuk menyemangati diri maju dan berkembang menuju cita-cita dan impian. Saya salut ketika anak-anak KASAT bercerita pada saya. Sekarang memang jarang ada komunitas sastra di sekolah. Tidak banyak juga sanggar-sanggar di luar yang mengkhususkan diri pada pembelajaran tentang sastra. Saya berharap teman-teman Komunitas Sastra Teladan (KASAT) bisa menjadi pelopor untuk tumbuh dan berkembangnya komunitas sastra di sekolah-sekolah. Tahun lalu ketika saya diundang Pusat Bahasa untuk ke Kendari, di sana saya bertemu anak-anak SMA dan mereka mengeluhkan bahwa mereka menjadi kelompok yang elite karena minat mereka pada sastra dan teater. Meski di sekolah belum terbentuk komunitasnya, tetapi Taman Budaya dan Balai Bahasa memberikan ruang bagi mereka untuk berekspresi dan mengembangkan diri.

Sudah saatnya, remaja menjadikan sastra sebagai gaya hidup dan kebanggaan. Dengan begitu apa yang terjadi sekarang (merebaknya karya-karya remaja yang dibukukan) tidak hanya booming sesaat tetapi bisa berlanjut, dan semakin banyak untuk memberi warna bagi sastra Indonesia. Saya mengucapkan selamat datang dan memasuki dunia sastra.

*) Penyair, Cerpenis, Novelis

Penyair Muda Yogya Sekarat?
oleh Mahwi Air Tawar

SEBAGAIMANA pernah disinggung dalam sebuah pertemuan oleh penyair Raudal Tanjung Banua dan cerpenis Joni Ariadinata. Bahwa, kini Yogya telah kehilangan penulis puisi yang benar-benar berkualitas karyanya. Terlepas benar dan tidaknya anggapan di atas, sejauh ini karya-karya penulis muda Yogya yang kadang-kadang nampang di media, sepertinya memang biasa-biasa saja. Justru, yang sangat pesat perkembangannya, baik secara kualitas maupun produktivitas ada di daerah lain. Penyair Yogya harus mengakui hal itu, bahwa daerah lain, seperti Lampung misalnya, jauh lebih bermutu karyanya ketimbang Yogya, yang konon pernah melahirkan banyak penyair kenamaan di jagad sastra nasional.

Namun bertolak dari anggapan penyair dan cerpenis di atas, bukan berarti kesusastraan di Yogya sekarat. Justru sebaliknya. Kini, di sini semakin menjamur penulis-penulis prosa (novel maupun cerpen), yang telah banyak dibukukan. Dan tentu saja, mun-culnya prosa maupun novel dari penulis muda Yogya itu terlepas dari standar kualitas sebuah karya sastra.

Saya tidak tahu pasti, kenapa mesti novel dan cerpen yang menjamur dan seakan berlomba dibukukan. Namun sepintas, penerbitan atas prosa, terutama novel, tak lebih hanya sekadar angin-anginan saja. Asal laris terjual di pasaran, dapat dipastikan karya tersebut akan dicetak ulang. Percayalah. Menggiurkan, bukan?

Lalu puisi? Geliat penyair muda Yogya, kini di ambang kematian. Marilah kita bertandang, sebelum napas kreativitasnya benar-benar sekarat. Biar sama-sama tahu sebab musababnya, meski tidak utuh, setidaknya kita tahu, ada apa dengan penyair muda Yogya.

Tapi sebelumnya, izinkan saya menyapa mereka dulu: Hei, Penyair Muda Yogya, apa kabar? Sehat-sehatkah kalian? Semoga tidak sekarat!

Sebenarnyalah, kalau kita mau menilik lebih jauh tentang penulis-penulis muda Yogya, sangatlah tak terhitung jumlahnya. Terlepas dari kualitas. Sekadar menyebut. Ada Lingkar Sastra Lepas, yang dimotori Ahmad Muhklis Amrin. Sarkem UNY, yang rutin mengadakan sidang puisi seminggu sekali, bertindak sebagai lurahnya An Ismanto, KUTUB diasuh oleh Zainal Arifin Thoha. Bengkel Sastra Yogya, Sanggar Sastra Gunung Gamping, Rumah Poetika, Studio Pertunjukan Sastra (SPS) yang beberapa bulan lalu menggelar Mimbar Penyair Muda Yogya. Perlu juga diketahui, SPS ini dimotori oleh Hari Leo. Dan masih banyak lagi. Termasuk yang berproses secara individu, misal, Agus Munaji dan lain sebagainya.

Nah, merujuk pada beberapa kantong komunitas sastra di atas dan individu, salah kaprah bila kita beranggapan, dengan merujuk pada penerbitan buku dan media (koran) atas karya-karya mereka. Bahwa penulis muda Yogya di ambang kematian, lantaran karyanya tidak pernah nampang di media, atau diterbitkan dalam bentuk buku.

Disadari atau tidak, memang ada penulis (penyair) lebih memilih tidak mempublikasikan karyanya ke media atau menerbitkannya dalam bentuk buku. Tentu bukan berarti karya mereka tak layak muat. Sebab layak dan tidaknya itu subjektif, tergantung selera redaktur budaya sebuah media, di samping memang dari kualitasnya sendiri. (Tapi sebentar, bolehkah saya bertanya. Adakah puisi yang sering dipublikasikan di media, secara kualitas sudah teruji?) Relatif tentu saja.

Jangan-jangan dari penulis puisi yang tidak mempublikasikan karyanya itu, atau yang tak pernah dimuat, karyanya jauh lebih dahsyat ketimbang yang sudah dimuat di koran, atau dibukukan? Oleh karenanya, menarik untuk diikuti, sebuah event yang diprakarsai oleh salah satu sekumpulan penulis muda yang bernaung di Rumah Poetika.

Kegiatan itu bertema Temu Penyair Muda 4 Kota, Yogya, Bandung, Bali dan Padang, yang akan dilangsungkan di Yogyakarta, pada 29-30 Desember 2006. Agendanya: Pertama, Membaca Peta Sastra Nusantara dari 4 Kota. Melibatkan penyair-penyair muda dari 4 daerah, baik yang berproses lewat komunitas maupun individu. Kedua,: Pengaruh Sastra Daerah di kancah Sastra Nasional.

Anda berminat mengikuti? Kirimkan karya Anda, dan mari berbagi, tentang proses berkarya dalam sebentuk tulisan, kirimkan ke alamat ini: Jalan Adisucipto, Gang Kunti No 84, RT 01 RW 01, Dusun Ambarrukmo atau di email kami: rumah_poetika@yahoo.com. Lalu, berkabarlah, bahwa kita belum sekarat!

*) Penulis adalah Koordinator Penyair Muda untuk Yogya dan pelaku sastra alapola.

*Ketika Waktu Jadi Beku*
Tentang ‘Sepuluh Tahun Kemudian’-nya Hadjid Hamzah
oleh Kuswaidi Syafi`ie

Cinta tulis Sutrimo Edy Noor dalam salah satu sajaknya, membuat segalanya mungkin. Dan pasti bahwa kalimat sang penyair dari pesisir utara Jawa itu bukanlah merupakan jalinan idiom-idiom yang kosong: kalimat itu ingin mendedahkan tentang betapa dahsyatnya kekuatan yang terkandung di dalam cinta itu sehingga ia sanggup merobek berbagai keangkuhan apapun yang selainnya. Karenanya, baju kemungkinan senantiasa menjadi kehormatan yang disandangnya.

Tapi bersamaan dengan hal itu pula, cinta bukanlah merupakan sejenis kobaran ambisi yang tidak mau mengakui tentang adanya warna-warni dan jarak. Dalam cerpen Hadjid Hamzah yang berumbul Sepuluh Tahun Kemudian (selanjutnya disebut STK, termaktub dalam buku antologi cerpen Cinta Seorang Copet, Jakarta: Progres, 2003) permakluman tentang adanya perbedaan yang tajam dalam bercinta terjuntai dengan ramah. Di dalam permakluman ini, cinta dibiarkan menjalar dari masing-masing keduanya, tapi sekaligus juga tidak memaksakan diri untuk merobohkan pagar atau batas yang berdiri di antara keduanya.

Bagaimana kita bisa tenteram dengan hidup seperti itu? Bagaimana pula jadinya anak kita nanti? Ke masjidkah ia? Atau ke gereja? kata Surti pada kekasihnya, Hari Sudarlan: suatu wujud perbedaan yang di kalangan kebanyakan masyarakat masih seringkali tampil sebagai seonggok penghalang bagi terwujudnya sebuah keluarga yang diikat oleh tali pernikahan, yaitu perbedaan agama.

Di dalam cerpen yang pernah muncul di Majalah Sastra di tahun 1964 ini, perbedaan keyakinan yang cukup kontras dan dianggap substansial oleh kebanyakan orang itu oleh Hadjid Hamzah dijadikan demarkasi. Hal ini barangkali dimaksudkan untuk mengujicoba bagaimana cinta menghadapinya. Ibarat angin atau air: ketika dihadang, ia akan mencari tempat atau celah yang lain untuk memasuki atau melewati ruang.

Di dalam cerpen yang seolah bukan fiksi ini, demarkasi yang tandas itu bukanlah merupakan penanda bagi berakhirnya percintaan antara Surti dengan Hari Sudarlan. Yang terjadi di situ adalah berubahnya titik pusat: dari degup cinta yang bertaut secara fisik beralih ke orkestrasi cinta yang berdentam secara platonik.

Cinta yang bertaut secara fisik mengandaikan berlangsungnya penghabluran masing-masing diri secara utuh sehingga kedua pencinta itu dimungkinkan untuk mendapuk kenikmatan paling maksimal, baik secara lahir maupun batin. Itulah yang disebut puncak hakiki dari perjumpaan antara dimensi maskulin (jalaliyyah) dan dimernsi feminim (jamaliyyah) yang sejatinya merupakan turunan langsung dari dua gelombang sifatNya.

Sedangkan cinta yang berdentam secara platonik hanya bisa berlangsung di gorong-gorong yang benar-benar sunyi: ia berjingkrak di kedalaman imajinasi yang paling purba, membuat si pencinta seolah melampaui gugusan-gugusan wilayah, menembus berbagai limit yang tabu, menumbuhkan bunga-bunga yang paling ideal.

Cinta platonik itu mengindikasikan adanya dua hal sekaligus: di satu sisi ia memproklamirkan kesanggupan untuk senantiasa bertahan meskipun secara terus-menerus ditikam sunyi, sementara di sisi yang lain ia memperlihatkan kelemahannya sendiri untuk merengkuh realitas sehingga yang terpampang di hadapannya tak lebih dari sekedar bayang-bayang.

Walaupun demikian, cinta platonik itu tetaplah merupakan penyangga terakhir bagi kehidupan si pencinta. Andaikan tidak ada ruang kemungkinan untuk berkolusi dengan cinta platonik, para pencinta yang sial karena tidak sanggup mendapuk rialitas mungkin akan mengakhiri hidup mereka dengan ca-ra yang barangkali tragis: bunuh diri atau tindakan-tindakan apapun yang bernuansa mengenaskan. Nauudzu billahi min dzalik.

Menurut paradigma seorang hermeneut kontemporer di bidang teks-teks suci Alquran, Muhammad Syahrur, cinta platonik itu bisa dikategorikan sebagai al-hadd al-adna (batas yang paling bawah) yang bisa disandang oleh para pencinta. Inilah sebenarnya yang dimainkan oleh Hadjid Hamzah di dalam STKnya. Di dalam cerpen yang bernuansa suram ini,tragedi berjalan maju-mundur, kenangan masa silam dan pengalaman hari ini berjalin-berkelindan dengan sedemikian sublim, dengan terajut begitu rapi. Waktu yang sesungguhnya beringas lalu berubah seakan menjadi beku. Waktu psikis melampaui waktu kosmologis. Bukan matahari atau jam atau barometer apapun yang menjadi kemudi bagi waktu, tapi gemuruh jiwa yang tidak mau dibalut layu. Simaklah petilan-petilan berikut ini:

Ya, sebetulnya mengapa pula kita bertemu waktu itu kata Darlan. Dan kau memandang padaku. Dan aku memandang padamu. Mengapa? Lalu kita kenal. Jalan-jalan. Nonton film. Dan kita tak saling mengatakan bahwa kita sebenarnya mempunyai kutub-kutub sendiri dalam hidup kita.

Percakapan-percakapan semacam itu ataupun yang sejenisnya dalam cerpen ini tidaklah semata terjadi di waktu yang sudah jauh lewat, sepuluh tahun yang lalu, tapi juga berdengung-dengung pada sepuluh tahun kemudian ketika Darlan, atas nama cintanya yang tidak kunjung kisut itu, mengunjungi sebuah rumah makan yang dulu, persisnya sepuluh tahun yang lalu, disinggahi oleh Darlan dan Surti dalam suasana cinta yang sungguh mesra.

Usia boleh beranjak tua. Kulit boleh berubah jadi keriput. Kepala boleh jadi telah ditumbuhi uban. Tapi cinta yang bersenyawa dengan keabadian tidak mudah bertekuk lutut di hadapan benda-benda atau atribut-atribut yang telah digarong oleh waktu.

Dengan gambaran semacam itu, barangkali Hadjid Hamzah secara tidak langsung ingin menandaskan bahwa melalaui jendela agung yang bernama cinta, kesejatian manusia sesungguhnya sanggup menunggang waktu dengan, bijak dan bestari. Laalli ila man qad hawaytu athir.


*) Kuswaidi Syafiie adalah penyair,
juga dosen Tasawuf di PP Universitas
Islam Indonesia Jogjakarta.

Nafas Keislaman dalam Macapat
Oleh Otto Sukatno CR

METRUM Macapat, yang dalam kebudayaan Jawa dikategorisasikan sebagai Tembang Cilik (kecil), jika dikaji secara seksama, sesungguhnya memiliki pengutuban atau mencerminkan nafas tradisi tasawuf (tarekat) Islam yang klop dan harmonis. Tarekat, yang dimaknai sebagai jalan atau stadia manusia dalam mencari kembali bentuk agregasi hubungan ‘kebersamaan Illahi’ (kemakhlukan dan Ketuhanan/Manunggaling Kawula Gusti), tercermin secara nyata dalam nama-nama genre Macapatan tersebut.

Di mana urutan kesebelas nama tembang Macapat itu, tidak lain mencerminkan perjalanan manusia dari sejak lahir hingga kembali bersatu dengan Tuhan. Artinya, urutan tembang Macapat itu tak lain merupakan dialektika sosial kemanusiaan sekaligus spiritual-religius bagi manusia Jawa dalam mencapai derajat kemanusiaannya yang lebih baik, bermakna dan bermartabat sesuai nafas ajaran (tasawuf) Islam. Karena nama-nama tembang tersebut menunjukkan arti masing-masing sesuai dengan maksud, tujuan dan karakter yang harmonis dengan stadia kehidupan (individu) manusia, berhadapan dengan dimensi keilahian (hablum minallah).

Urutan metrum Macapat itu adalah:

1. Mijil artinya lahir/kelahiran;

2. Maskumambang (seperti emas yang hanyut) mencerminkan kehidupan manusia masa bayi. Yakni sejak lahir hingga bisa berjalan. Artinya bayi masa ini ibarat ‘emas’, jika tidak dijaga dan dipelihara secara baik, ia hanya akan (hanyut) sia-sia;

3. Kinanthi atau masa kanak-kanak. Di mana masa ini biasanya, ke manapun orangtuanya pergi, ia selalu ingin ikut. Sehingga dinamakan kinanthi (selalu minta dikanthi).

4. Sinom adalah cerminan masa remaja;

5. Dhandhanggula atau masa-masa yang ‘serba manis’ laksana gula. Tidak lain mencerminkan masa pubertas awal;

6. Asmarandana atau masa percintaan, memasuki usia perkawinan (Asmarandana; berasal dari kata ‘asmara’ dan ‘dahana’/api). Jadi Asmarandana artinya berkobarnya api asmara;

7. Durma atau masa ‘berdarma’. Yakni masa memasuki realitas kerja yang konkret (usia produktif), sebagaimana seorang ksatria dalam pandangan Hindu. Di mana Durma atau darma juga bermakna berdarma (sedekah) dalam pengertian religius;

8. Pangkur atau munkar. Yakni masa memalingkan diri (masa pensiun). Di mana Pangkur dalam hal ini lebih bermakna religius ‘mungkuri’ kenikmatan duniawi, untuk lebih mengejar kenikmatan ukrowi (akhirat/spiritual). Dengan jalan lelaku suci, nggegulang kalbu (membina keutamaan jiwa), mencari kekayaan batiniah, dengan banyak beramal dan beribadah untuk bekal kehidupan sesudah mati. Pangkur ini dalam konsepsi tasawuf Islam disebut Ujlah atau memalingkan diri dari kehidupan duniawi untuk menempuh jalan spiritual (tarekat). Atau Sanyasi, bertapa ke hutan dalam konsepsi teologi Hindu;

9. Megatruh (megat, putus dan ruh/jiwa). Saatnya manusia meninggal;

10. Pucung (pocong: memasuki alam kubur). Selanjutnya yang terakhir adalah:

11. Gambuh. Yakni masa di mana ruh kembali ke haribaan Illahi. Gambuh atau Jumbuh. Yaitu Jumbuhing Kawula Gusti. Bersatunya manusia dengan Tuhan.

Namun dari urutan nama-nama tembang itu, ada beberapa pendapat yang menempatkan urutan Sekar Gambuh, sesudah Sekar Pangkur. Dengan pertimbangan bahwa Gambuh yang berarti ‘kesesuaian jiwa’ (jumbuh) manusia dengan Tuhan ‘dapat dicapai oleh manusia di dunia, baru kemudian disusul Megatruh (mati). Sedangkan Gambuh dalam urutan terakhir sebagaimana diurai di atas, bermakna sebuah ungkapan esoterik dari kesatuan kembali dengan Tuhan Manunggaling Kawula Gusti dicapai manusia di akhirat, setelah mengalami masa Megatruh dan Pucung (alam kubur).

Metrum Macapat ini muncul karena sebagaimana diungkap oleh pakar mistik-Islam Kejawen, Prof Dr Simuh dalam bukunya Sufisme Jawa (1995) bahwa para wali --mereka yang notabene diidentifikasikan menciptakan metrum Macapat ini-- pada masa itu berdakwah dengan pertama-tama mengubah dan memperkenalkan konsep waktu.

Dari konsep waktu yang sirkulair (cakra manggilingan) yang bergerak dari alam pikir ajaran Hindu Buddha yang lebih dulu menguasai alam pikir Jawa, menjadi konsep waktu yang linier Newtonian yang bersifat rasional filosofis dan epistemologis sebagaimana paham modern. Adapun yang menjadi center of mind atau pusat orientasi dan kesadaran akan kewaktuan yang bersifat linier Newtonian itu adalah Makah (Kabah) yang menjadi kiblat dari seluruh identifikasi dan orientasi spiritual umat Islam.

Dengan adanya perubahan dan penggantian konsep waktu ini muaranya kebudayaan Jawa yang masa itu di tangan alam pikir Hindu-Buddha telah mengalami establisme, kembali menemukan watak fleksibilitasnya yang menjadi elemen penting dari proses dan energi budaya.

Sehingga kebudayaan Jawa kembali mengalami aktivitas yang dinamis. Terbukti sejak diperkenalkan metrum Macapat ini; kehidupan kebudayaan Jawa menjadi dinamis. Dengan metrum Macapat ini, kemudian di Jawa muncul ribuan karya sastra yang bernafaskan ajaran Islam --termasuk Serat Centhini yang legendaris itu-- tidak bisa dibaca secara pas tanpa bantuan khazanah literer ajaran Islam.

Di samping lewat Macapat, kunci penting keberhasilan para Wali Sanga dalam misi dakwahnya menyebarkan Islam di tanah Jawa, karena mereka menggunakan metode yang bersifat kompromis-akomodatif. Artinya sebagaimana yang dipelopori Sunan Giri, Bonang dan Kalijaga, mereka menggunakan media, sarana dan prasarana budaya lokal yang telah berkembang sebelumnya. Seperti lewat ekspresi wayang (teater), gamelan (musik) maupun sastra. Selain itu para Wali juga menciptakan karya-karya baru berdasarkan genre yang sudah ada.

Di luar itu juga menyempurnakan dan meluruskan karya-karya yang ada untuk disesuaikan ajaran-ajaran dengan nafas keislaman. Itulah sebabnya, masa itu Islam mudah diterima dan berkembang secara signifikan, tanpa menimbulkan konflik yang berarti.

*) Otto Sukatno CR, Penyair dan
Pemerhati Sosial, Budaya dan
Ketimuran (Agama dan Filsafat Jawa).